Cerita bermula di sudut ruang kelas yang kotor, seorang anak meringkuk sendirian di sudut itu. Anak kecil malang itu melipat kakinya sampai ke dada dan melingkarkan tangannya pada sudut kaki. Kepalanya menunduk sampai menyentuh lipatan kakinya yang penuh luka. Anak kecil berambut putih pirang kebiruan itu meringkuk kesepian, menghindar dari cemoohan kotor teman-teman sekelasnya yang lain. Mencoba lari dari kenyataan, bahwa dirinya dibenci dan dikucilkan tanpa sebab yang penting. Sementara anak-anak yang lain bersenang-senang di waktu istirahat ini, bermain, belajar, ke kantin dan bercanda. Tanpa menghiraukan si-bocah yang dekil dan bau, juga aneh.
Terdengar suara langkah kaki mendekati anak kecil malang itu. Tapi si-bocah tetap meringkuk di sudut sana. Langkah kaki itu terus mendekatinya tanpa ampun dan menendang kaki si-bocah.
“heh, bocah dekil. Ayo berdiri, agar aku bisa menendang mukamu yang aneh itu”, si-penendang berteriak pada si-bocah. Dia semakin menendang si-bocah dengan keras, sampai si-bocah mau mengangkat kepalanya.
Saat si-bocah mengangkat kepalanya, terlihat wajahnya yang lebam di sana-sini dan mata coklatnya sendu. Lalu dia berdiri dengan tubuhnya yang mulai letih dengan permainan ini. Tatapan matanya kosong dan datar, seolah jiwanya telah melayang entah kemana. Wajahnya pucat dan dingin, sedingin bongkahan es. Sebelum dia bertanya ada apa, si-penendang menarik rambut panjangnya yang kucel dan menyeretnya ke papan tulis. Si-penendang membenturkan wajah si-bocah ke papan yang penuh debu kapur itu hingga terdengar suara benturan yang keras. Diiringi suara tertawa dari anak-anak lain yang menyudutkan si-bocah.
“cepat gantikan aku piket hari ini, tugasmu adalah membersihkan papan tulis dan membersihkan seluruh lantai kelas, mengerti?”, si-penendang berbisik di telinga si-bocah.
Si-bocah pasrah aja, hanya bisa menuruti kata-kata si-penendang. Kalau dia melawan, si-penendang bisa membunuhnya beserta seluruh siswa satu kelas. Atau mempermalukannya di depan seluruh siswa satu sekolah.
------------------------------------------------------------
Matahari semakin condong ke arah barat bumi, bersiap pulang ke peraduannya yang dingin dan nyaman. Mewarnai seluruh isi bumi dengan warna merah darahnya yang gelap. Menghembuskan angin senja yang bertiup pelan dan menyedihkan. Para manusia yang seharian sibuk, kini mulai keluar dari persembunyiannya dan bersiap pulang ke peraduan masing-masing. Mereka memenuhi jalanan kota dengan langkah tergopoh-gopoh, tanpa mempedulikan sosok kecil dengan tubuh rapuh berjalan di sekitar mereka.
Sosok kecil yang ternyata adalah si-bocah itu, berjalan pelan dengan langkah tertatih menuju rumahnya yang berdiri tegak di ujung jalan sana. Matanya yang sendu memperhatikan sekelilingnya, blok perumahan yang dihuninya. Sepi, tak seperti biasanya. Yang terdengar dari kejauhan hanya bunyi sirene ambulan dan kilatan cahaya merah di ujung sana.
Begitu si-bocah memperhatikan lebih seksama dari mana cahaya itu berasal. Matanya terbelalak, dia segera berlari ke rumahnya yang penuh dengan polisi, petugas ambulan dan beberapa tetangga yang berkumpul di sekitar rumahnya.
Dia semakin mempercepat larinya dan menerobos kerumunan manusia dewasa yang tak begitu peduli dengannya. Nafasnya yang terengah-engah tak menghalanginya untuk terus berlari masuk ke dalam rumah. Dia juga tak mempedulikan larangan petugas agar tak masuk ke dalam rumahnya.
Begitu si-bocah berhasil menerobos masuk, dia tercengang. Tubuhnya tiba-tiba lunglai tak bertenaga. Matanya membola dan wajahnya pucat pasi.
Di hadapan matanya tergeletak dua tubuh tak bernyawa yang adalah kedua orang tuanya. Keduanya tergeletak berlumuran darah segar yang masih belum mengering. Ibunya bunuh diri setelah membunuh ayahnya. Darahnya terhambur di lantai dan terciprat di dinding sekitarnya. Seisi rumah berantakan, dengan pecahan piring dan gelas ataupun perabot lain yang berhamburan di lantai. Seolah menjelaskan pertengkaran dan keributan sebelum tragedi itu terjadi.
Malam mulai datang menjelang, matahri pun sirna ditelan sang bumi. Garis polisi mulai dipasang setelah para petugas mengamankan si-bocah yang shock. Mayat kedua orang tua si-bocah sudah di bawa ke rumah sakit terdekat untuk diautopsi.
-------------------------------------------------------------
Satu hari setelah tragedi itu terjadi, si-bocah hidup bersama paman dan bibinya. Mereka bersedia menampung si-bocah untuk sementara, sebelum mereka menelantarkan si-bocah ke panti asuhan dan mengambil semua harta dan warisan dari kedua orangtuanya. Si-bocah tetap diam setelah tragedi itu, diam tanpa ekspresi. Jiwanya seolah mati sunyi, menyisakan raga yang kosong tanpa hati. Dia tak bisa merasakan sakit ataupun derita lagi. Walaupun dipukul atupun diludahi, si-bocah tetap diam tanpa ekspresi. Disela-sela itu, dia selalu mengunyah permen karet yang selalu ditiupnya hingga bulat membesar, seolah mengekspresikan jiwanya yang kosong dan hampa, hanya udara yang tersisa. Bagai rantai karma yang terpotong begitu saja.
---------------------------------------------------------------
Di suatu malam yang gelap dan sunyi, si-bocah keluar dari kamarnya yang lusuh dan kecil. Berniat ke kamar kecil yang ada di ujung koridor rumah bibi-nya itu. Tapi samar-samar terdengar suara berisik yang mengganggu di kamar bibinya. Langkah si-bocah tertarik untuk mendatangi suara samar itu. Si-bocah mendekat pelan dan mengintip di balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Menajamkan matanya yang kecil itu untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi di dalam sana.
Kamar bibi si-bocah tidak berantakan sama sekali. Jendela tetap tertutup rapat. Ranjang dan seluruh penghuninya tetap terlelap di sana. Yang janggal hanyalah seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di sana, dengan tangan terbungkus sarung tangan dan menggenggam sebuah pistol berperedam.
Si-bocah shock seketika, tubuhnya sedikit terguncang. Sehingga tanpa sengaja dia terjatuh dan menimbulkan suara keras. Membuat si-pria menoleh ke arahnya.
To be continued...............................................
ceritanya gelap yah ==a
BalasHapusoh ya, kaito san..!!
ini saya!! :D